Example floating
Example floating
Aktivis

Efek Domino PHK: Dari Kehilangan Pekerjaan hingga Kontraksi Konsumsi Rumah Tangga

11
×

Efek Domino PHK: Dari Kehilangan Pekerjaan hingga Kontraksi Konsumsi Rumah Tangga

Sebarkan artikel ini

PEKANBARU, CEPASIA.ID- Akhir-akhir ini, linimasa pemberitaan ekonomi kita diramaikan oleh kabar mengenai gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang melanda berbagai sektor  industri. Fenomena ini tentu bukan sekadar isu ketenagakerjaan semata, melainkan sebuah alarm yang sangat mengkhawatirkan bagi stabilitas dan pertumbuhan ekonomi nasional secara keseluruhan. Dengan menggunakan pendekatan teori ekonomi, dinamika pasar tenaga kerja, dan implikasinya terhadap daya beli masyarakat, kita dapat memahami betapa krusialnya isu ini untuk segera diatasi.

Dalam Teori klasik Adam Smith jauh sebelum era modern telah menyoroti pentingnya alokasi Sumber Daya Manusia (SDM) yang efektif sebagai fondasi pertumbuhan ekonomi. Smith berpendapat bahwa efisiensi dalam pemanfaatan tenaga kerja menjadi syarat utama sebelum akumulasi modal fisik berperan signifikan dalam mempertahankan pertumbuhan.

Dalam konteks gelombang PHK, kita menyaksikan sebuah paradoks. PHK massal, yang notabenenya melepaskan SDM dari aktivitas produktif, berpotensi mengganggu alokasi sumber daya yang efektif ini. Jika keahlian pekerja yang diberhentikan dan tidak segera diserap kembali ke pasar kerja secara produktif, maka potensi pertumbuhan ekonomi jangka panjang dapat terhambat. Ini perlu digaris bawahi, bahwa untuk menjaga dan mengoptimalkan modal manusia adalah kunci utama, dan PHK massal dapat menjadi kontraproduktif jika tidak dibarengi dengan mekanisme penyerapan kembali tenaga kerja yang efisien.

Temuan Reinhart dan Rogoff (2009) memberikan konteks penting mengenai timing terjadinya PHK massal. Penelitian mereka menunjukkan bahwa pelemahan ekonomi seringkali menjadi pemicu utama bagi perusahaan untuk mengambil langkah efisiensi ekstrem, termasuk melalui pengurangan tenaga kerja. Dalam situasi ekonomi yang penuh ketidakpastian atau bahkan kontraksi, perusahaan cenderung merespons dengan memangkas biaya operasional terbesar mereka, yaitu biaya tenaga kerja, demi mempertahankan profitabilitas atau sekadar bertahan.

Gelombang PHK saat ini bisa jadi merupakan respons terhadap lambatnya laju pertumbuhan ekonomi global atau domestik, ketidakpastian regulasi, atau perubahan iklim industri. Memahami bahwa PHK seringkali merupakan leading indicator atau konsekuensi dari tekanan ekonomi yang lebih luas, menuntut kita untuk tidak hanya fokus pada dampaknya, tetapi juga pada akar penyebab pelemahan ekonomi itu sendiri.

Analisis Mian dan Sufi (2014) memperjelas konsekuensi langsung dari PHK terhadap tingkat pendapatan rumah tangga. Kehilangan pekerjaan secara otomatis mengurangi atau bahkan menghilangkan sumber pendapatan utama bagi individu dan keluarga. Penurunan pendapatan ini memiliki implikasi langsung terhadap daya beli masyarakat secara keseluruhan. Ketika sejumlah besar pekerja kehilangan pekerjaan, kemampuan mereka untuk mengkonsumsi barang dan jasa akan menurun drastis.

Efek domino dari penurunan daya beli ini dapat meluas ke berbagai sektor ekonomi lainnya, mulai dari ritel, pariwisata, hingga manufaktur, yang pada akhirnya dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi lebih lanjut dan bahkan memicu gelombang PHK berikutnya. Temuan ini menekankan bahwa PHK bukan hanya masalah individual para pekerja yang kehilangan pekerjaan, tetapi juga masalah makroekonomi yang dapat menggerus fondasi aggregate demand.

Jika diintegrasikan, ketiga perspektif teori ini memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai risiko gelombang PHK massal. Dari perspektif klasik, ini mengancam alokasi sumber daya manusia yang efektif. Dari temuan Reinhart dan Rogoff, ini seringkali merupakan sinyal adanya tekanan ekonomi yang lebih dalam.

Dan dari analisis Mian dan Sufi, ini memiliki konsekuensi langsung terhadap penurunan daya beli masyarakat. Oleh karena itu, respons kebijakan yang komprehensif dan terukur sangat dibutuhkan. Pemerintah perlu tidak hanya fokus pada pemberian bantuan sosial jangka pendek bagi para pekerja yang terdampak, tetapi juga pada upaya menjaga stabilitas ekonomi makro, menciptakan iklim investasi yang kondusif untuk penyerapan tenaga kerja baru, serta mendorong program pelatihan dan reskilling agar para pekerja yang kehilangan pekerjaan memiliki daya saing yang lebih baik.

Selain itu, kebijakan yang mendukung aggregate demand dan menjaga daya beli masyarakat menjadi krusial untuk memutus siklus negatif PHK dan penurunan ekonomi. Memahami akar permasalahan dan konsekuensi lanjutan dari gelombang PHK melalui kacamata teori-teori ekonomi dapat menjadi solutif bagi para pemangku kepentingan dalam merumuskan kebijakan yang lebih efektif dan berkelanjutan.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *